Selama kamu
berpikir dan meyakini bahwa suatu hal mungkin terjadi, maka gelombang pikiranmu
bekerjasama dengan alam semesta.” (hlm 196)
Cerita diurai saat Larasati – Lara –menemukan
dirinya terbangun di rumah sakit yang terasa dingin dan mencekam, tanpa busana.
Ia ketakutan, berusaha keluar tapi pintu rumah sakit terkunci. Hingga ia pun
menemukan lorong dalam lemari yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Tak
sengaja, Lara juga menemukan barang-barangnya – berupa pakaian, tas, handphone
dan gelang emas putih dengan huruf L menghiasinya-.
Tiba-tiba Lara mendapati dirinya berada di
ruang tamu keluarga, entah mengapa ia merasakan sepi yang luar biasa. Tiba-tiba
kakaknya –mbak Saras- muncul dengan wajah putih pucat, rambut tergerai
acak-acakan, dan membisu. Lara mencoba mengajak kakaknya bicara, namun tak ada
jawaban.
Besoknya, ia mencoba mengajak ibu bicara,
namun ibu juga membisu. Mbok Yam malah seperti ketakutan melihatnya. Lara mulai
lelah dan merasa ada yang aneh pada dirinya. Sesampai di kampus, ia mencoba
mengirimkan sms kepada sahabatnya, Dimas dan Faira, namun lagi-lagi tak ada
balasan. Semua orang menganggapnya seolah tak ada. Lara merasakan kesepian yang
mencekam.
Hingga ketika ia bisa berbicara kepada mbak
Saras melalui mbok Yam sebagai perantara, ditambah kehadiran Rayan –kekasihnya-
di depan pintu rumahnya dalam keadaan berdarah-darah, Lara sepertinya harus mau
menerima suatu hal mengerikan. Sesuatu yang sekuat tenaga ia tolak
kebenarannya.
Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Mengapa slide-slide masa lalunya bagai
melintas dengan sangat cepat berulang kali?
Kenapa mbak Saras diam membisu dan
menunjukkan gejala aneh lainnya?
Kenapa semuanya terasa janggal?
Roda
kehidupan akan terus berputar, ada atau tanpa kita. (hlm 208)
Menamatkan Lara adalah prestasi besar untuk
orang yang ‘mengaku benci’ genre horor sepertiku. Baru baca bagian awal sebenarnya
sudah ketakutan setengah mati, tapi tetap lanjut hingga lembar terakhir karena
penasaran yang menggila, mengalahkan rasa takut yang juga membuncah. Kak Sybill
berhasil membawa aura dingin, mencekam, sunyi dan kepedihan dari awal cerita
hingga akhir.
Seriously, aku jatuh kasihan melihat
perjalanan kehidupan keluarga Lara. Keluarga yang dulunya bahagia sentosa tak
kurang suatu apapun, mendadak runtuh saat ayah meninggal mendadak di meja
makan. Ibu mereka yang tidak terbiasa mandiri, luar biasa frustasi dan
membentengi diri dengan sikap dingin. Lara dan mbak Saras yang juga sedih luar
biasa kehilangan ayah, seolah harus kehilangan ibu juga.
Ketidakadilan
dalam hidup ini memang penting untuk keseimbangan hidup itu sendiri.” (hlm 60)
Berdua mereka melewati hari dengan melakukan
hal-hal nakal. Main ke kelab tanpa
tujuan. Menenggak alkohol. Bahkan Lara memacari Rayan, si pecandu narkoba.
Hanya satu gemilang masa lalu yang berhasil Lara dan mbak Saras pertahankan :
kecerdasan secara akademik. Buktinya, mbak Laras berhasil mendapatkan beasiswa
ke Singapura, meninggalkan Lara di Indonesia dengan perasaan yang semakin
kosong.
Kamu nggak
bisa membanding-bandingkan hidupmu dengan kehidupan orang lain. (hlm 51)
Tidak semua
yang terlihat bagus itu berarti bagus. (hlm 51)
Lara semakin dekat dengan Rayan, meski tetap
berusaha untuk putus, karena ibu mati-matian meminta mereka berpisah. Namun
hanya dengan Rayan lah Lara benar-benar merasa diinginkan, ibu hanya bisa
memerintah, tanpa menaruh rasa sayangnya seperti saat ayah masih hidup.
Sedangkan mbak Saras bertemu dengan Ahmer di
Sinagpura, pemuda yang berhasil menggetarkan hatinya. Namun semuanya belum
mencapai titik kesempurnaan cinta. Masalah bermunculan, hingga Ahmer pun harus
pergi dari Singapura, meninggalkan mbak Laras. Kamu bisa bayangkan ditinggalkan
orang yang paling disayang kan? Pedih! :(
Titik balik kehidupan Lara dan kehidupan
mereka semua terjadi saat mbak Saras pulang ke Indonesia. Sekalian, Lara
memintanya menemani ke kelab, Lara berencana memutuskan Rayan, karena Rayan tak
kunjung sembuh dari jeratan narkoba. Sayang, niat Lara luluh lantak dengan
bantuan malam yang hangat dan alkohol. Alkohol yang juga membuat hidup
ketiganya – Lara, mbak Saras, Rayan- berputar arah.
Apakah
manusia sama sekali tak bisa berubah? Atau aku memang hanya membutuhkan
keberadaan seorang teman? (hlm 31)
Semestinya
kamu sembuh untuk dirimu sendiri, bukan untuk aku. (hlm 75)
Omong-omong soal cover, covernya pas banget
untuk isi cerita ini. Cantik tapi penuh luka. FYI, aku naksir baca Lara awalnya
gara-gara lihat covernya loh. Bersyukur banget karena ga kecewa sama isinya.
Pas!
Udah merinding disko sejak diajak
‘jalan-jalan’ sama Lara di awal cerita. Tapi ada beberapa bagian yang
bener-bener bikin detak jantung aku ga beraturan. Seperti saat mbak Laras
nongol dengan ‘mode silent’. Saat komputer ‘rusak’ dan memutar refrain lagu
yang sama berulang-ulang. Apalagi pas ada adegan wajah nongol di layar
komputer. Hiyaampun. Seram!
Jadi siklus baca aku : baca – ketakutan –
tutup – penasaran sama kelanjutannya – buka – ketakutan – tutup lagi –
penasaran lagi *begitu terus sampai baru sadar kalo hari udah malem dan lupa
nutup jendela. Hiyaaaaaaaa!
Tapi kamu perlu tau, Ketimpukers. Menjelang ending rasa takut itu berubah jadi pedih sekaligus haru. Iya, aku nangis. Endingnya sama sekali ga ketebak. Duh, jadi baper.
Meski kental nuansa mencekam, novel ini tidak
kelam. Malah memberi eberapa pesan moral ..
1. Pentingnya sinergi antar anggota keluarga.
Jangan pernah ada satu pihak yang merasa lebih menderita dibanding pihak
lainnya, karena hal itu hanya berujung pada makin renggangnya perasaan saling
sayang, menimbulkan sikap antipati, dan luka.
2. Harus belajar mengikhlaskan. Suka nggak
suka, kuat nggak kuat. Kuncinya adalah belajar ikhlas.
Untuk
memperkuat keyakinan, kuncinya adalah ikhlas. (hlm 148)
3. JAUHI ALKOHOL. Minuman ini juga
memporakporandakan hidup salah seorang teman yang begitu dekat denganku.
Gara-gara minuman itu hidupnya bukan hanya berantakan seminggu, dua minggu,
melainkan bertahun-tahun. Memperkeruh semuanya.
Nggak ada manfaatnya merasakan nikmat satu
jam kalau harus menderita bertahun-tahun (atau bahkan seumur hidup) setelahnya
kan?
4. Manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya,
kita nggak tau batas waktu kita di dunia kapan, kan? Selesaikan yang harus
diselesaikan, lakukan yang harus dilakukan.
Setiap
kemungkinan selalu ada, meski dalam persentase yang kecil. (hlm 136)
4 dari 5 bintang untuk kekuatan pikiran yang
mampu berkonspirasi dengan semesta. :)
Efek alkohol serem ya, tan. :(
BalasHapusSerem kak Ila. Efek paling parah bikin kita pindah dunia :|
Hapus