Anthea
Padmarini yang kerap disapa Thea adalah arsitek junior yang belum genap setahun
bekerja di perusahaan konsultan desain arsitektur milik pak Mahendra, Mediotec.
Kebanggannya lenyap, saat ia dipindahtugaskan ke pertanian cabai di
Megamendung, bukan berprofesi sebagai arsitek, melainkan pengawas lahan
pertanian.
Dilema dong.
Manalah jauh dari orangtua. Harus beradaptasi dengan keadaan yang mendadak
berubah banget, dari suasana Jakarta yang penuh hiruk pikuk ke sunyi sepinya
Megamendung. Tapi yang paling krusial adalah kerjaan di lokasi baru sama sekali
BUKAN PASSIONnya. Bahaya deh kalo udah ngomongin passion, i can feel her. Jangankan
alih profesi, pindah segmen siaran aja rasanya mau kek mau lempar microphone
*loh malah curhat :p
Yah,
akhirnya dengan terpaksa Thea harus mengiyakan tawaran alih profesi tersebut.
Mengingat pengalamannya yang minim belum cukup dijadikan bekal melamar
pekerjaan sebagai arsitek di konsultan desain lain. Nasib nasib! *ajak tos si
Thea*
“Andai dihadapkan pada buah
simalakama, manakah yang akan kau pilih?” (hlm 8)
Beruntung,
Thea nggak sendiri. Ada Niken, yang juga rekan kerjanya di Mediotec, turut
hijrah ke Megamendung. Ditambah juga dengan beberapa pekerja lain seperti Yayah
dan pekerja laki-laki yang berjaga di mess bawah. Bonusnya, ada yang segar di
Megamendung. Bastian Kawindra, sang insinyur pertanian tampan yang resmi
menjadi rekan kerja selama di pertanian cabai.
Namun, semua
tak berjalan mulus. Sandungan kecil hingga sandungan yang sukses menyesakkan
dada mulai membayangi langkah Thea di lokasi kerja. Perselisihan dengan Niken,
kemunculan hantu cewek berbaju putih melayang di villa angker sebelah
pertanian, jejak kaki harimau di lahan pertanian, hingga kelakuan menyebalkan
Bastian yang sukses melunturkan rasa simpatik Thea pada awal jumpa. Namun mau
tak mau, debar aneh masih kerap hadir meski Bastian seringkali membuatnya
memasang tampang tak ramah.
Lantas,
seiring waktu, gimana nasib Thea ke depannya?
Akan
selamanya terjebak di area pertanian cabai Megamendung atau mengejar kembali
mimpinya untuk menjadi arsitek profesional?
Lantas, jika
benar debar rasa di hatinya untuk Bastian bernama cinta, layakkah
diperjuangkan? Mengingat mereka yang sungguh berbeda. Bastian pencinta
tumbuhan, sedangkan Thea pencinta bangunan.
Pertemuan
Jingga, novel yang ditulis kak Arumi ini lumayan tebal, 250 halaman. Butuh
waktu cukup lama untuk menamatkan cerita yang akan membawa kita menyusuri lahan
pertanian Megamendung ini. Ada banyak konflik yang dibebankan pada tokoh utama,
Thea. Pekerjaan, keluarga, juga cinta.
Cukup
ngos-ngosan diajak menuntaskan satu konflik ke konflik yang lain di novel ini. Masalah
seolah datang nggak berhenti. Ya berantemlah, ya badailah, ya ada maling lah.
Wkwkw.. kalo aku jadi Thea, nggak bakal seminggu, udah resign dah. :p
Meski banyak
konflik, namun penyelesaiannya jelas. Tapi tetap agak mengganjal pas di bagian
hantu cewek melayang di villa itu. Aku mikirnya udah macem-macem aja, sampai
ada timbunan harta, berlian atau apa gitu yang disembunyikan di villa. Eh,
ternyata eh ternyata, hanya perkara sederhana, yang berefek nggak sederhana
saat sebagian besar warga sana percaya mitos. Salut dengan peran Thea yang
berani memangkas mitos satu per satu.
Kali ini,
tokoh favorit jatuh pada Bastian. Biasaaa.. selalu kagum sama lelaki cerdas.
Nah, si Bastian ini meski tinggal di Megamendung, ilmunya jangan diremehkan.
Dalam beberapa scene novel ini, Bastian unjuk diri memamerkan isi kepalanya.
Eh, tapi kalo kamu jadi Thea, betah ga sih disukain sama cowok yang
menyebalkan, yang suka nimbrung pas kamu lagi ngobrol sama orang lain? Muncul
tiba-tiba? Itulah sisi gelap Bastian. Hehe
Dan
terakhir,
Covernya abg
banget, tapi bahasannya udah dewasa loh. Dewasa dalam artian, tokoh-tokohnya
udah pada kerja, udah mikirin nikah, bukan sekedar mengumbar suka-sukaan yang
meletup-letup.
Kalimat-kalimat
favorit :
1. "Jangan
bilang apa yang ku kerjakan salah karena kamu sendiri belum bisa melaksanakan
tugas tanpa salah sedikit pun.” (hlm 66)
2. "Percaya
deh, kamu lebih cakep kalau tersenyum seperti tadi daripada cemberut.” (hlm
153)
3. "Nggak ada
yang tahu pasti apa yang akan terjadi pada masa mendatang.” (hlm 235)
Kalimat-kalimat
sindiran :
1. "Aku
capek-capek kuliah arsitektur bukan untuk terdampar di pertanian cabai.” (hlm
9)
2. "Aku sudah
dewasa, pak. Sudah dua puluh empat tahun. Sudah nggak perlu diawasi lagi.” (hlm
12)
3. "Ya,
namanya juga bos. Kita kan cuma pegawai.” (hlm 24)
4. "Tolong
jangan biasakan menyalahkan orang lain saat terjadi suatu bencana.” (hlm 48)
5. "Jangan
berharap orang lain akan mengerjakan tugasmu.” (hlm 58)
Makasih Intan review-nya ... 😙😘😚
BalasHapusmakasih juga buat buntelannya, kak Arumi :*
HapusWaah ada horornya jg ni
BalasHapushihii, iya, ada horornya juga :)
Hapuspengen baca novelnya
BalasHapusayoo ke toko buku :)))
Hapus