Dyffa diajak
ibu liburan ke Buntok, kota kecil yang cantik di Kalimantan Tengah. Liburan sekaligus
mengunjungi ayah yang bekerja di pertambangan batubara Buntok. Selama ini,
Dyffa jarang bertemu ayah, hanya dua bulan sekali. Ibu dan Dyffa tetap tinggal
di Jakarta, mengingat sekolah di Jakarta lebih bagus daripada di Buntok.
Di sana,
Dyffa tinggal di rumah dinas ayah. Di rumah itu tinggal juga om Danu, sepupu
ayah. Ia baru diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan ayah. Om Danu
mengingatkan Dyffa untuk tidak bermain-main di sekitar tambang kapur.
“Tempat itu seram. Kata orang,
tambang itu sering mengeluarkan suara menggerung.” Kata om Danu. (hlm. 11)
Sementara itu,
Kay, teman Dyffa di Jakarta, memberi kabar bahwa di televisi ada berita
penyelundupan kucing dari Buntok. Di liburannya yang luar biasa, Dyffa
dihadiahi misteri tambang yang menggerung dan kucing hutan Buntok yang
kemungkinan diselundupan.
Bersama
kedua teman barunya, Dian dan Jenta, Dyffa memulai petualangan. Dian, si gadis
galak yang sedang belajar berubah. Dan Jenta, yang ternyata adalah orang Dayak.
Ia punya penciuman dan pendengaran tajam.
Bertiga,
mereka memberanikan diri memasuki tambang menggerung.
Betapa kagetnya, saat mereka menemukan kandang hewan yang telah kosong, yang
diyakini penciuman Jenta adalah
kandang yang digunakan untuk menyembunyikan kucing hutan. Ada juga jejak sol
sepatu yang berbeda antara bagian kiri dan kanan.
Dugaan mereka,
penyelundup itu adalah dua bapak-bapak galak yang mereka temui di tepian sungai
Barito. Salah satunya mengenakan topi dengan tulisan TAKE. Dugaan mereka hadir
tanpa sengaja menguping pembicaraan bapak-bapak itu mengenai selundupan. Tapi, ternyata salah satu
diantara bapak-bapak itu, pak Darmin, adalah teman om Danu. Dyffa ragu,
benarkah om Danu terlibat penyelundupan kucing hutan?
Mereka lalu
meminta bantuan pak Malis, si penyayang binatang, untuk menyelamatkan kucing
hutan yang tersisa di tepian sungai Barito. Namun saat di Jetty, Dyffa menemukan fakta baru, bahwa ada salah satu dugaan penyelundup yang bekerjasama
dengan pak Malis. Nah loh, jadi siapa nih penyelundup sebenarnya?
Pak Darmin
dan Om Danu?
Atau ..
Pak Malis?
Lantas,
darimana sebenarnya suara menggerung yang kerap terdengar di tambang?
Benarkah tambang
itu angker?
Baca Misteri
Tambang Menggerung dongs! Hehe :D
Lewat buku
petualangan ini, pembaca akan diajak mengupgrade informasi. Baik itu melalui
percakapan, maupun melalui ilustrasi yang menarik.
Ayah tergelak,
“Felis Bengalensis. Nama latin kucing
hutan.” Ayah menjelaskan. (hlm 10)
Informasi mengenai
Buntok dikemas cantik. Dari info mini mengenai Buntok, bagaimana cara tiba ke
sana, hingga motto daerah. Indonesia banget! Kapan ya kak Erlita datang ke
Bengkulu? Soalnya di sini banyak juga tempat kece yang bisa jadi sumur ide buat
kakak penulis kece ini. Ada benteng Marlborogh, Danau Dendam Tak Sudah, Pantai
Panjang dan ada juga perayaan Tabot.
Ngiler pas
tiba di bagian cerita mengenai Juhu singkah (umbut rotan) dan Juhu singkah
enyuh (umbut kelapa). Di Bengkulu (tepatnya di Bengkulu Selatan) juga ada,
dikenal dengan nama gulai umbut. Emang beneran sedap kok! Nggak heran kalo di
Prancis sana ada umbut kelapa versi kemasan kaleng, harganya mahal. Beruntunglah
yang masih di Indonesia, bisa makan umbut sepuasnya. hehe
Buku ini
pokoknya kaya informasi dah. Salut buat penulis dan ilustratornya. Ada info mengenai
kucing hutan, air hitam. batu kapur dan ada juga info seputaran bahasa. Di buntok
sana, orang-orang lazim menambah akhiran –lah atau –kah pada tiap akhir kata,
seperti
“Ah, tidak
angkerlah.” Bantah Jenta. (hlm 27)
Wajah Dian
berubah cerah, “Boleh jugalah usulmu
itu. Nanti aku coba.” (hlm 31)
“Kenapakah kaget begitu?” Dian balik bertanya.
Pesan moral
buku ini:
Jangan terlalu
mudah menyimpulkan, tanpa tahu benar duduk perkaranya. Mendengar informasi yang
sepotong-sepotong bisa membuat kita menyimpulkan sesuatu yang salah, juga mencurigai
orang yang tak tepat.
Miris,
orang-orang melihara kucing hutan HANYA demi gengsi. Duh aduh. Padahal di saat
yang sama ada yang ngos-ngosan ngebanting gengsi demi menuhin tuntutan perut
yang nggak bisa ditunda. Lagipula, kucing hutan bukanlah hewan peliharaan yang
senang dielus dan digendong. Kebayang kan betapa tersiksa mereka kalo dikurung
dalam kandang? *pukpukFelis
Boleh juga nih bukunya ya, wah ternyata penikmat buku juga toh neng. ^.^
BalasHapusPetualangannya sepertinya seru, apalagi kalau ada banyak informasi tentang suatu daerah di Indonesia & hewan yg dilindungi.
BalasHapusIni untuk range usia SD kah, Intan?
Sepertinya bagus untuk direkomendasikan sebagai bacaan sebelum mulai pelajaran ya?
Suka reviewnya, jadi pengen beli buat anak-anak nih.
Garis keturunan keluarga dari pihak Papa berasal dari Kalimantan, tepatnya di Sambas, Kalbar. Jadi, saya selalu excited bila ada cerita ber-setting Pulau Borneo. Apalagi, ini buku anak. Genre yang sedang saya selami lebih dalam ;)
BalasHapusBtw, review yang buku ini berhasil membuat saya kepincut, Tan. Deretan kata di baris akhir makin bikin penasaran. Antara sosok tiga pria yang bersinggungan dengan misteri. Karena baca review ini pula saya harus buka KBBI offline. :D Sempat salah cari pula. Mengerung dan Erung. Eh, kok, kedua kata itu nggak ada di kamus, ya. Ternyata eh ternyata, menggerung ;) yang artinya menangis keras-keras. Sstt, saya udah tiga kali ikutan GA buat dapetin buku ini, tapi belum rezeki. Hehehe.
Untuk reviewnya yang oke, saya kasih empat jempol. Serasa lagi lihat film Misteri Tambang Menggerung nih. Saya sedang belajar membuat novel anak. Buku anak yang sarat pesan dan pengetahuan, menurut saya, bisa ditulis oleh penulis cerdas yang rajin riset. Kak Erlita keren bisa nulis buku sekeren ini. :) Makin sukses, ya, Kak Erlita.
OOT dikit, ya, Tan. Biasanya, saya buka ketimpukbuku dari hape, jadi si cantik nggak kelihatan :D Karena ikutan GA ini saya jadi ikutan pasang widget blog emoticon juga. Hihihi. Ternyata blogspot juga bisa, ya. Kiraiin wordpress aje. Horeee! ;)
Sukses terus, Tan. Banyak ilmu baru karena ikutan GA ketimpuk buku. Termasuk buat review buku seru yang no spoiler ^_^