Jadi, bullying dalam makna harfiah
itu berarti menggertak dan mengganggu orang yang lebih lemah. (hlm 3)
Banyak cara
seseorang dalam mengekspresikan tindakan bullying-nya. Bisa dalam tindakan
fisik, contohnya memukul, menendang, meninju, mencakar maupun merusak
barang-barang milik korban. Bisa pula mem-bullyng dengan tindakan non fisik
yang terbagi dua, yakni secara herbal maupun non-herbal.
Secara
verbal bisa berupa mengancam, memeras, berkata-kata keji dan memanggil-manggil
dengan sebutan meledek, dan lainnya. Sedangkan secara non verbal bisa berupa
mengancam dengan tatapan mata, mengucilkan seseorang dari pergaulan, mengirimkan
pesan penghasut, dan lainnya.
Di-bully emang nggak enak, bahkan
jika tingkatannya sudah parah bisa “mematikan” pelaku dan menghancurkan
kehidupan korban. (hlm 3)
Membaca buku
ini memaksaku untuk terlempar jauh pada masa sekolah. SD, SMP, SMA. Masa-masa
dimana aku dan teman-teman segenk adalah kelompok pem-bully berbahaya.
SD. Ada seorang
siswi introvert yang jadi bulan-bulanan kami. Nggak ada yang salah sebenernya. Secara
fisik, dia nggak masuk kategori jelek. Kemampuan akademiknya pun lumayan, masih
masuk 10 besar. Tapi bibirnya yang lebih sering terkunci, juga sikap diamnya
yang dingin, sukses membuat kami gemas. Akhirnya berbagai panggilan hina, juga
gumpalan kertas, pena, penghapus, sering kali mendarat padanya. Tiap kali
melakukannya kami tertawa puas, apalagi saat melihatnya menangis. Kami baru
berhenti saat .. dia tidak masuk sekolah karena tangannya tersilet seusai
melakukan tindakan uji coba bunuh diri. Rabb.. betapa bersalahnya kami.
SMP dan SMA
pun aku lagi dan lagi bergabung bersama genk populer. Tujuannya sih biar aman
di sekolah. Ada yang ngajakin ribut, tinggal ajak genk buat nyerbu. Di kelas
pun kami sering semena-mena, ribut sesuka hati, berbuat usil ke anak-anak
introvert (lagi).
Aku baru tau
bahwa ternyata tindakan bullying bukan hanya berdampak bagi korban tapi juga
bagi pelaku.
Bagi korban
:
Dapat
membuat remaja merasa ketakutan dan cemas, dapat mempengaruhi konsentrasi
belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Dalam tingkat
lanjut bisa mempengaruhi self-esteem si korban, meningkatkan isolasi sosial,
memunculkan perilaku withdrawal, rentan terhadap stres dan depresi. Lebih parah
lagi, bullying juga mampu membuat seseorang melakukan tindakan bunuh diri
apabila sudah tak tahan dengan situasi yang dialaminya.
Bagi pelaku
:
Pada umumnya
pelaku bullying cenderung memiliki rasa percaya diri dan harga diri yang
tinggi, cenderung bersikap pro terhadap kekerasan, tipikal berwatak keras,
impulsif, dan mudah marah serta toleransi yang rendah terhadap rasa frustasi.
Pantesss ..
pas kuliah aku ngerasa banget susah bener nahan mood tetap bagus. Kebiasaan marah-marah
saat ngebully rupanya ikut melekat. Susah payah loh buat ngelatih diri buat jadi
sosok yang lembut dan toleran.
Tuh, yakin
masih mau lanjut jadi pem-bully?
Penulis
merasakan dan mengalami tindakan bullying sejak duduk di bangku TK hingga SMA. Pada
usia 6 tahun, penulis masuk TK mulai belajar berinteraksi. Sayangnya langsung
punya pengalaman buruk : dicubit teman bernama Lira. Diejek dan dicubit teman
laki-laki. Pada akhirnya, perlakuan itu membentuk kepribadian paling dominan pada
diri penulis : introvert.
Di
lingkungan tempat tinggal penulis pun nggak lepas dari nuansa bully. Penulis
pernah diancam dengan pisau lipat oleh anak nakal. Wah anak kecil udah main
pisau. Seram!
Ada juga
pengalaman penulis saat dipukul teman lelaki di kelas. Kebalikan sih, kalo aku
pas SD pernah sekali ninju pipi (pake acara narik kerah leher segala waktu itu.
Ckck Intan!) teman kelas yang cowok. Gara-gara mulutnya usil sih, aku yang
emang ga sabaran langsung putar arah, narik kerah bajunya, dan buuuummm.. dia
nangis, aku ketawa terus lari. Hadeh!
Di masa SD, penulis
bertemu dengan saingan belajar di kelas, bernama Jodi. Penulis dan Jodi dikirim
ke SD Unggulan ternyata memiliki anak-anak didik yang mentalnya tidak unggul. Ada
guru yang pilih kasih, suka memukul dengan penggaris kayu pula. Tragedi diusili
teman sekelas dengan penggaris kayu., sialnya anak itu adalah anak kepala
sekolah. Ada juga teman sekelas penulis yang menggunakan bullying tipe verbal,
bersilat sebebas mungkin dengan kata-kata hinaannya.
Duh!
Di SMP
kembali diintimidasi guru Bahasa Indonesia yang hanya akan sumringah pada murid
laki-laki. Di-php-in ikut lomba pidato, namun yang dipilih malah si Jodi. Penulis
akhirnya ikut lomba cerdas cermat Bahasa Inggris, lagi-lagi si guru usil
mematahkan semangat. Yaelaah bu.. kurang piknik nih kayaknya si ibu.
Dan sederet
pengalaman jadi korban bullying lainnya yang bikin ngelus dada sekaligus
gregetan.
Duh. Duh. Duh!
Untung penulis
sabar, kalo aku di posisi itu, entah udah berapa kali melayangkan tinju. Gubrak.
Aku
menemukan beberapa istilah-istilah yang baru ku ketahui di buku ini:
1. Bystander
: orang-orang yang berada di sekeliling terjadinya tindakan bullying. (hlm. 10)
2. Withdrawal
: menarik diri dari lingkungan. (hlm. 20)
3. Coping
stress (hlm. 82)
4. Sado-masokisme
: salah satu gangguan psikologis yang ditandai dengan ciri khas senang melukai/
menyakiti dengan cara sadis (sadisme) dan senang dilukai/disakiti (masokisme)
guna memperoleh kepuasan. Biasanya dikaitkan dengan gangguan seksual. (hlm.
163)
Ada juga
pojok tips dari penulis yang dihadirkan penulis tiap akhir bab:
1. Jangan
menilai sifat dan karakter seseorang terhadap kesan pertama bertemu. Biasanya
orang akan menawarkan senyum semanis madu pada awal jumpa, tapi bisa saja
berubah jadi perilaku pahit bak empedu. Bukan mengajak berburuk sangka,
melainkan semuanya memang membutuhkan kehati-hatian dan waktu yang cukup lama
untuk bisa menilai secara fair, baik atau burukkah orang di hadapan kita.
2. Pola
pengasuhan orangtua terhadap anak sangat berpengaruh terhadap. Ke-unkonsistenan
yang dilakukan orangtua juga sebaiknya dikurangi. Marah yang hanya beberapa
menit, lalu berganti dengan bujukan bahkan pujian. Anak jadi sulit membedakan
mana yang benar-benar salah, mana yang benar-benar dilarang.
Lalu, juga
ditekankan untuk menegur perbuatan
anak, bukan menyalahkan diri anak secara keseluruhan.
3. Ketika
dibully, bukan hanya asal melawan, tapi sabar dan menahan diri juga diperlukan.
4. Tidak
dibenarkan jika kita berkutat dalam lingkaran coping stress.
Fokus pada
impian, lupakan sejenak para pem-bully. Kita masuk sekolah bukan untuk
menghindari anak-anak agresif yang sarkas. Bukan pula untuk mengejar kelompok
populer agar lingkungan mau menerima kita dalam pergaulan yang sama. Putar
baliklah, lihat tujuan awal.
Just keep being you kalo kata Isyana
Sarasvati mah :p
5. Guru harus
mampu menyanyangi anak didik. Memberi hukuman yang mendidik. Bukan asal cubit,
bukan asal memarahi.
6. Guru harus
mampu menjadi teladan bagi muridnya, baik itu dalam tutur kata maupun
penampilan.
Ada juga
beberapa kalimat favorit dalam buku ini, yakni :
1. Mempertahankan
prestasi sebagai jawara kelas jauh lebih sulit daripada merebutnya dari
temanmu. (hlm. 67)
2. Jika kau
ingin “dianggap” dan diterima oleh teman sekelas, maka kau harus menunjukkan
kehabatanmu dengan menjadi pemimpin atau juara kelas. Tapi, jika kau kalah,
maka mereka semua akan menghilang darimu. (hlm. 74)
3. Labil
secara emosi bukan berarti harus mengorbankan lingkungan sosial, termasuk teman
yang pernah dekat denganmu. (hlm. 136)
4. Seseorang
yang berambisi tinggi dan memungut teman untuk kelangsungan prestasinya, dia
hanyalah teman maya yang hanya akan mengingatmu saat sedang baik-baik saja tapi
meninggalkanmu di kala susah. (hlm. 149)
5. Teman
sejati adalah mereka yang membenarkanmu jika engkau memang benar pun jika
engkau berbuat salah, bukan yang selalu menganggapmu benar walaupun engkau
berbuat salah. (hlm. 150)
Overall,
buku ini bermanfaat sekali untuk menyadarkan si pem-bully, dan menguatkan yang
ter-bully. Inspiratif.
Apapun alasannya bullying harus dihentikan, sangat tidal bermanfaat dan berdampak buruk bagi korban juga pelaku. Stop bullying! Semoga tidak ada lagi korban seperti penulis.
BalasHapusSepakaaaaattt!! :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus