Hati seorang
Ibu itu adalah pintu rahasia tempat dimana cinta bersemayam..
Sumber : http://iloveyoumamahappythanksgiving.weebly.com/ |
Anak kecil mana di muka bumi ini yang mau
menghabiskan masa kecilnya dengan tinggal bersama orang lain selain kedua
orangtuanya? Termasuk aku. Meskipun ‘orang lain’ yang dimaksud adalah saudara
kandung dari orangtua. Tetap saja rasanya aneh dan menyedihkan.
Sejak mama memutuskan menikah lagi, aku
seolah tak punya pilihan yang enak untuk dijalani. Tidak terbayang rasanya
tinggal bersama sosok lelaki asing yang bisa jadi menjahatiku. Tak terbayang
jika harus berebut kasih sayang mama dengan adik-adik tiriku beberapa tahun
kemudian.
Intan versi kelas empat SD merasakan radar
bahaya yang menjadi, lalu memilih hengkang dari rumah. Memilih tinggal bersama
ibu (dan suaminya yang aku panggil ‘bapak’) – kakak kandung mama- yang kebetulan tidak dikarunia anak.
Alasan bocahku waktu itu berteriak, “seenggaknya aku nggak perlu berbagi kasih
sayang dengan bocah mana pun!”
Family |
Namun, tinggal bersama orang lain tak semudah
dan senyaman yang aku harapkan. Seolah ada batasan tak kasatmata di antara kami
bertiga. Seolah banyak ketidakcocokan yang samar namun terasa. Namun sekali
lagi, ini jauh lebih baik daripada hidup bersama papa tiri, ya kan?
Beberapa bulan berlalu, berat badan Intan
kecil menurun drastis. Aku tak doyan makan, susah tidur, susah bahagia. Aku
rinduuuuu mama. Tapi begitu sadar bahwa mama sudah punya kehidupan baru, aku
menepis rindu itu kuat-kuat.
Perasaan sedih yang sangat, membuatku jatuh
sakit dengan mudah ..
Ibu dan bapak barangkali menganggap
waktu-waktu menyedihkan itu sebagai proses adaptasi anak kecil yang tidak perlu
diributkan. Jadi, selain membawaku berobat ke dokter, mereka membiarkanku
berisitirahat secukupnya, menyuplai makanan bergizi yang harus aku telan, juga
membawakanku buku-buku dari perpustakaan SMP tempat mereka mengajar.
Hingga ..
Suatu hari aku dibawakan buku yang mampu
menggetarkan hati, membuatku menangis terisak-isak lantas mau menyantap jatah
makan siangku dengan lahap dan penuh rasa syukur.
Buku Si Jamin dan Si Johan : http://kumpulan-dongeng.blogspot.co.id/2011/03/42-si-jamin-dan-si-johan-merari-siregar.html |
Buku ini diterbitkan pada tahun 1921 oleh
Balai Pustaka. Menceritakan tentang kakak beradik –Jamin dan Johan- yang hidup
menderita sejak ditinggal mati sang ibu tercinta. Ayah mereka menikah lagi,
namun dengan pilihan yang salah. Ibu tiri mereka jahat, tukang selingkuh,
pemalas dan senang memaksa Jamin dan Johan untuk mencari uang dengan cara
meminta-minta.
Kelaparan, kedinginan, sedih, telah menjadi
sahabat karib kedua kakak beradik ini. Belum lagi siksaan ibu tiri mereka yang
menggila jika setoran hasil meminta-meminta di jalanan tidak sebanyak yang
diharapkan. Namun, semesta akhirnya berbaik hati mempertemukan Jamin dan Johan dengan
tabib yang hatinya mulia. Tabib itu bernama Kong Sui.
Tabib Kong Sui dan istrinya menyayangi Jamin
dan Johan. Mereka memberi makanan, juga pakaian yang layak. Namun, tragedi perih
hadir saat nyonya Kong Sui tak sengaja meletakkan cincin di saku baju si Jamin.
Karena Jamin ini adalah anak yang baik dan jujur, ia bermaksud mengembalikan
cincin tersebut. Namun sayang, di tengah perjalanan, ia tertabrak trem, lalu
meninggal.
Sepeninggal kakaknya, si Johan diboyong
tinggal di rumah Kong Sui. Mereka membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan
Johan yang ternyata punya otak yang cerdas itu. Bahkan Kong Sui juga berbaik
hati memberikan pekerjaan untuk ayah Johan setelah lelaki itu bertobat dan
menceraikan istrinya yang keji.
Akhir yang manis, tapi tetap saja pilu *lap
air mata*
Saat dilanda kesedihan memang perlu sekali
membuka mata atas kesedihan orang lain. Itu yang aku lakukan di buku ini. Meski
masa kecilku jauh dari bahagia yang sempurna, namun seharusnya aku bersyukur
karena bapak ibu sangat menyayangiku.
Mama juga (masih) menyayangiku dan memberi
perhatian via handphone atau pun material semampu beliau. Dan yang paling aku syukuri,
setidaknya lelaki yang mama pilih adalah orang baik. Tapi tetap ya, aku enggan
memanggilnya ‘papa’. Panggilan ‘om’ sudah cukup untuk menjelaskan bahwa aku tak
akan pernah bisa menganggapnya sebagai pengganti papa.
Selain itu, aku yang dulunya susah makan,
pilih-pilih makanan dan sering membuang makanan yang tidak dihabiskan, pelan-pelan
mulai sadar. Betapa banyak orang yang kegirangan hanya dengan menyantap nasi
putih saja, seperti Jamin dan Johan.
Si Jamin dan si Johan mengajarkan ->> pada akhirnya, kadar bahagia yang kita
miliki tergantung pada seberapa besar kemampuan kita untuk bersyukur.
Life must go on |
Jadi intinya, perbanyaklah syukur. Otomatis kita akan bahagia. :)
BalasHapusSalam hangat dari Bondowoso..
Jadi pengen baca bukunya. Perjalanan hidup kamu juga mengharukan :) hidup memang harus banyak bersyukur ya, agar merasa cukup :)
BalasHapus