Bukan seberapa
lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa
besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka
alami. (Hujan : 317)
Happy Tuesday!
Jumpa lagi di Selasa Bercerita. Kali ini aku,
kak Asri dan Putri mau berkhayal jika seandainya novel yang kami sukai
difilmkan. Udah banyak ya novel-novel kece yang difilmkan, sebut aja Sabtu
Bersama Bapak, Refrain, Remember When, juga Melbourne yang filmnya bakal tayang
akhir tahun 2016 ini.
Baca juga
It’s time to
Selasa Bercerita
Well, setelah aku pikir-pikir, novel yang
paliing pengen aku lihat difilmkan itu adalah novel Hujan. Novel terbaru karya
Tere Liye. Jadi, novel ini bergenre science fiction berbumbu romance sedikit. Mengambil
setting di tahun 2042. Pada tahun ini, perkembangan teknologi sudah sedemikian
pesat.
-
Layar sentuh berukuran kecil, menggantikan jam tangan konvensional.
-
Tablet menjadi setipis kertas HVS.
-
Chip berbentuk layar kecil ditanam di lengan, menjadi layar kecil
yang multifungsi. Sebagai alat pembayaran, pengganti tiket bus, trem, belanja
di toko, hingga sistem presensi kantor, juga sebagai alat komunikasi.
-
Teknologi cetak 3 dimensi, membangun rumah dan gedung cukup pakai
komputer, apalagi sekedar membuat lemari.
-
Tongkat selfie sudah ketinggalan, digantikan dengan kamera terbang
seukuran kumbang.
Lalu terjadilah bencana alam, yakni
meletusnya gunung purba, kekuatannya 100 kali lebih dahsyat dari letusan gunung
Krakatau atau Tambora. Mengubah hidup sang tokoh utama (dan seluruh anak
manusia), yakni Lail dan Esok. Lail menjadi yatim piatu sejak kejadian ini.
Untunglah ada Esok menemani Lail melewati masa-masa sulit, menghiburnya,
memastikan dia makan tepat waktu, mengurus semua keperluannya.
Esok ini adalah anak yang cerdas, dia adalah anak
kesayangan di tenda pengungsian. Hingga kemudian, Esok dijadikan anak angkat oleh
salah satu keluarga kaya, keluarga itu juga bersedia merawat ibu Esok yang
lumpuh. Esok dan Lail pun terpisah. Esok hidup di rumah baru, sedangkan Lail
tinggal di panti sosial bersama kawan barunya yang bernama Maryam.
Pertemuan rutin Lail dan Esok berlangsung
sebulan sekali. Hari berganti hari, semakin dewasalah Lail, semakin ia
menyadari hatinya bukan sekedar menaruh sayang pada Esok. Lebih parah dari itu.
Perasaan manis sekaligus menyakitkan yang menuntun Lain menemui paramedis
senior, Elijah. Lail ingin menghapus memori-memori di hari kemarin. Termasuk perasaannya
untuk Esok.
Kesibukan
adalah cara terbaik melupakan banyak hal, membuat waktu melesat tanpa terasa.
(Hujan : 63)
Aaaaak! Pokoknya novel ini bakal keren banget
kalo difilmkan.
-
Menyajikan kisah cinta yang sederhana namun kuat.
-
Penokohannya keren. Lain dan Esok sama-sama berkembang. Sama-sama
berjuang dalam ranah berbeda.
-
Penonton diajak membayangkan masa depan yang penuh dengan
kecanggihan teknologi super keren.
Hmm, aku ngebayangin Maudy Ayunda yang
meranin Lail. Cowoknya? Ga tau. Hehe. yang jelas cakep, pinter, baik hati,
mukanya kalem. Hoho. Afgan kali ya? *lah sama kayak pemain Refrain dong? :D
Babay, sampai jumpa di Selasa Bercerita
minggu depan!
Belum punya bukunya mba intan ga adain GA Hujan hahaha #ngarepgretonk :p
BalasHapusHujan memang memiliki alur cerita yang unik. Tapi untuk difilmkan sepertinya gak mungkin. Teknologi tahun 2042 terlalu canggih untuk dibuat versi filmnya, dan Indonesia sepertinya belum bisa membuat film seperti itu 😐😪 😥
BalasHapuslangsung cus ke Gramedia cari novel hujan. hehe
BalasHapus