Sejak menikah, weekendku biasanya diisi dengan kegiatan
belanja mingguan bareng suami. Beli stok makanan untuk seminggu berikut
bumbu-bumbu jadi yang banyak dijual di pasar. Maklum, di weekdays harus kerja,
kalau harus bolak balik belanja & nyiapin bumbu-bumbu sebelum masak, mana
sempat ya coy. Aku butuh segala sesuatu yang praktis biar masak tetap lanjut,
kerjaan nggak berantakan. Dulu sih rencana sebelum nikah, masak cukup 2-3 kali
aja seminggu, sisanya bakal delivery order. Etapi BUUUMM.. ada pandemi covid-19.
Masak jadi tiap hari, nyuci baju pun dilakukan sendiri. Bye laundry, selama
pandemi masih terjadi, aku ngerasa lebih aman ngerjaian apa-apa sendiri.
Bukan hanya perihal urusan kerjaan rumah tangga yang di luar
ekspektasi, tapi juga rencana jalan-jalan sesering mungkin sama suami. Dulu pas
pacaran, suka banget menyambangi pantai, danau, taman bunga hingga ke kota
tetangga, sekarang ... wah, keluar rumah hanya untuk kerja & beli sembako
aja. Maret, April, Mei, dan penghujung Juni, rasa ingin jalan-jalan mendesak
hebat. Gausah jauh-jauh. Pengen banget jalan sore melewati Pantai Panjang. Gausah
mampir jajan pisang bakar & opak, lewat doang rasanya cukup bikin senang.
“Yang, beli bakso ikan yuk
sekalian lihat pantai. Lewat doang, abis itu kita pulang.”
Suami setuju & aku happy. Udah kebayag bisa lihat pantai
yang cantik, ombak berkejaran, pasir halus yang membentang luas... indahnya!
Eit. Tapi kok jalanan rame amat ya. Macet malah. Pas udah
dekat pantai, bukannnya senang, aku malah merasa dada aku sesak & mau
nangis. Gimana nggak, pantai ramai banget banget. Orang-orang ternyata mulai
berwisata, tumpah ruah mandi pantai berdesakan, bye jaga jarak, bye masker. Huhuhuuuu..
ku menangis!
Langsung putar arah & pulang.
Baca juga : Investasi Online saat Pandemi Covid-19
Pemerintah memang sudah mencanangkan new normal, kita harus
hidup berdampingan dengan covid-19. Berusaha produktif, tapi juga memperhatikan
protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona yang sudah memporakporandakan
kehidupan ini. Kalau PSBB lanjut terus, takutnya masyarakat bukan nggak bisa
survive lawan corona, tapi karena nggak bisa makan. Sad! New normal sih new
normal ya, bukan berarti virus coronanya sudah hilang. Coba deh cek berita
mengenai angka penularan covid-19 di negara kita. Jangankan turun, kurvanya melandai
aja belum. So pleaseeeee ... silahkan cari cuan agar tetap survive, tapi
kegiatan macam nongkrong rame-rame sampai mandi pantai bareng tanpa peduli
protokol kesehatan, apa nggak bisa ditunda? :((
--
Sejak WFH ditiadakan, kembali WFO, aku lumayan struggling melawan rasa cemas &
deg-degan. Profesi yang aku jalani termasuk profesi yang sering melakukan
kontak dengan banyak orang. Tiap hari ketemu sama narasumber A, B, C yang
profesinya macem-macem. Dari pejabat publik hingga pengusaha. Makanya ketika
ada kesempatan untuk melakukan rapid test, meski sempat panik, tapi ku pikir,
nggak ada salahnya melakukan screening
awal. Toh kalau reaktif, bisa cepat dilakukan tindakan selanjutnya. Kalau non
reaktif, legaaa ... tapi bukan berarti harus bersenang-senang lupa protokol
kesehatan. One more, rapid test ini
hanyalah test awal, bukan penentu akhir apakah seseorang sudah tertular
covid-19 atau tidak. Begicuuu. Btw, ada beberapa kriteria pasien yang
direkomendasikan melakukan rapid test ya. Seperti ODP, PDP, OTG yang pernah
kontak minimal 7 hari dengan pasien terkonfirmasi & orang dengan profesi
yang sering melakukan kontak dengan banyak orang.
Pengalamanku saat melakukan rapid test, prosesnya cepat,
deg-degannya aja yang lama. Hehe. Jadi, prosesnya kurang lebih kayak ketika
kita mau periksa golongan darah. Petugas medis akan ngambil sampel darah di
ujung jari kita, kemudian meneteskan sampel tersebut pada alat uji rapid test
covid-19, bersama dengan cairan penanda antibodi. Hasil testnya langsung bisa
diketahui 10-15 menit kemudian. Garis 1 non reaktif, garis 2 berarti reaktif. Cepet
banget kan, kayak jam istirahat zaman sekolah dulu.
--
Kalau kamu ngerasa termasuk dalam kriteria orang
yang harus melakukan rapid test, lakukan. Itu bukan hanya baik untukmu, tapi
juga untuk orang-orang di sekitarmu. Nggak berani test di rumah sakit yang
ramai, bukan jadi alasan. Karena sekarang kita juga bisa mengakses layanan
rapid test dari rumah saja. Cukup buka aplikasi ksesehatan seperti Halodoc,
kita udah bisa berinteraksi dengan dokter sesuai kebutuhan, termasuk
mendapatkan layanan rapid test. Lebih mudah & aman, gaes. Selain bisa
berkomunikasi dengan dokter lewat voice, voice call & chat, layanan Halodoc
juga terpadu & komplit karena bekerjasama dengan banyak RS, apotek &
laboratorium.
Saranku, selama pandemi ini kita harus
banyak-banyak memanfaatkan teknologi untuk menyenangkan & menenangkan diri.
Dari mulai bersilahturahmi hingga memeriksakan diri, harusnya bisa dicukupkan
dulu dengan teknologi. Memulai hidup baru, kebiasaan baru, semangat baru, tentu
nggak segampang itu, tapi kalau bukan kita yang menjaga diri sendiri &
orang di sekitar kita, siapa lagi?
Stay safe, stay
healthy, teman-teman. :))
Setuju, Mbak. Pola hidup sehat ini dimulai dari sendiri pastinya ^_^
BalasHapusbedanya swab test dan rapid test apa ya ?SobatLH
BalasHapusSebulan lalu juga harus rapid test karena ada keperluan yang harus berkumpul dengan orang banyak. Deg-degan juga pas nginjek pelataran rumah sakit. Area parkir jadi tempat antrian ambil obat. Pas masuk jadi semakin was-was sambil mikir aduh gimana ya hasilnya. Keringat dingin mengalir lancar tanpa komando. Setelah kesana kemari & menunggu antrian akhirnya tiba juga giliran kami 1 jam kemudian hasilnya udah bisa diambil dan alhamdulillah non reaktif.
BalasHapus